ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI
1. PENDAHULUAN
Pesatnya pembangunan di segala
bidang di Indonesia termasuk di dalamnya pembangunan di bidang infrastruktur
dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong peningkatan arus investasi baik
yang berasal dari pihak swasta dalam negeri maupun dari luar negeri. Investasi
dalam bidang infrastruktur telah melibatkan banyak pihak dengan beragam skema
kerjasama, seperti: antara pemerintah RI dengan Pemerintah negara lain atau
dengan Swasta Nasional atau Swasta Asing; antara sesama swasta nasional atau
dengan pihak asing.
Kerja sama investasi antara para
pihak dalam bidang infrastruktur tersebut diikat melalui beragam bentuk
kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama. Tentu saja setiap
kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dimaksud diharapkan dapat berjalan
dengan lancar dan tanpa adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Para
pihak yang terikat perjanjian berupaya melaksanakan sebaik mungkin
klausul-klausul yang disepakati dalam kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama
dimaksud.
Namun dalam pelaksanaan
kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama seringkali ditemukan banyak
kendala/hambatan yang pada akhirnya dapat menimbulkan perselisihan atau
ketidaksepahaman antara para pihak yang telah melakukan kesepakatan tersebut
yang ujung-ujungnya menjadi sebuah sengketa (dispute).
Pengertian Infrastruktur (Grigg,
1988) adalah suatu sistem fisik yang menyediakan transportasi, drainase,
bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun ekonomi. Adapun enam
kategori besar infrastruktur (Grigg, 1988), meliputi :
1. Kelompok
jalan (jalan, jalan raya, jembatan);
2. Kelompok
pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara);
3. Kelompok
air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air);
4. Kelompok
manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat);
5. Kelompok
bangunan dan fasilitas olahraga luar;
6. Kelompok
produksi dan distribusi energi (listrik dan gas);
2. LANDASAN HUKUM
Adapun beberapa landasan hukum yang
dapat menjadi dasar atau rujukan dalam penyelesaian sengketa konstruksi di
bidang investasi infrastruktur di Indonesia, meliputi :
1. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta Penjelasannya;
2. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa;
3. Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3956) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
59 Tahun 2010;
4. Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 200 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah;
5. Peraturan
Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan
Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi;
6. Peraturan
Lembaga LPJK Nomor 04 tahun 2014 tentang Penilai Ahli;
7. Lain-lain
(seperti FIDIC dll)
3. PEMILIHAN CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI
3.1 Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi beserta Penjelasannya
Bab IV :
Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Bagian
Ketiga: Kontrak Kerja Konstruksi
Pasal 22
ayat (2) h:
Kontrak
kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai penyelesaian
perselisihan, yang memuat tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat
ketidaksepakatan.
-
Penjelasan Pasal 22 (2) h:
Penyelesaian
perselisihan memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang
diakibatkan oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau pelaksanaan
berbagai ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi serta ketentuan tentang
tempat dan cara penyelesaian.
Penyelesaian
perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase,
ataupun pengadilan.
Pasal 33
ayat (2):
Tugas lembaga
yang menyelenggarakan peran masyarakat jasa konstruksi dalam melaksanakan
pengembangan jasa konstruksi adalah:
(e)
mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai ahli dibidang
jasa konstruksi.
Pasal 25
ayat (3):
Kegagalan
bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga
selaku penilai ahli.
-
Penjelasan Pasal 25 (3):
Penetapan
kegagalan hasil pekerjaan konstruksi oleh pihak ketiga sebagai penilai ahli
dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan penetapan suatu
kegagalan hasil pekerjaan konstruksi.
Penilai ahli
terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang, atau lembaga yang
disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampu
memberikan penilaian secara objektif dan profesional.
Pasal 36 :
(1) Penyelesaian
sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luarpengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang
bersengketa.
(2) Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlakuterhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
sebagaimana diatur dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(3) Jika dipilih
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh
salah satu atau parapihak yang bersengketa.
Pasal 37 :
(1) Penyelesaian sengketa jasa
konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk
masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan
pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan.
(2) Penyelesaian sengketa jasa
konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa
pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak.
(3) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi.
3.2. Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal 1 ayat
(1)
Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.
Pasal 1 ayat
(10)
Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Pasal 34
ayat (1) :
Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga
arbitrase nasional atauinternasional berdasarkan kesepakatan para
pihak.
3.3. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010
BAB VI :
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 49
(1) Penyelesaian sengketa dalam
penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara
:
a. melalui
pihak ketiga yaitu :
1.
mediasi (yang
ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga
AlternatifPenyelesaian Sengketa);
2.
konsiliasi; atau
b. arbitrase
melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase AdHoc.
(2) Penyelesaian
sengketa secara mediasi atau konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan
profesional aspek tertentu sesuaikebutuhan.
3.4. Menurut Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah;
Paragraf
Ketujuh : Penyelesaian Perselisihan
Pasal 94
(2) Dalam hal terjadi perselisihan
antara para pihak dalam Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih
dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk
mufakat.
(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan
tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian
sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3.5. Menurut
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan
Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi, terakhir diubah
dengan Peraturan Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 (Perubahan Kedua).
1. Penyelesaian Perselisihan
Para Pihak
berkewajiban untuk berupaya sungguh-sungguh menyelesaikan secara damai semua perselisihan yang
timbul dari atau berhubungan dengan Kontrak ini atau interpretasinya selama atau setelah pelaksanaan
pekerjaan ini.
Penyelesaian perselisihan atau sengketa antara para
pihak dalam Kontrak dapat dilakukan melalui musyawarah, arbitrase, mediasi, konsiliasi atau pengadilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelesaian perselisihan atau
sengketa yang dipilih ditetapkan dalam SSKK.(pen. SSKK = Syarat-Syarat Khusus
Kontrak)
3.6. Menurut
Peraturan Lembaga LPJK Nomor 04 tahun 2014 tentang Penilai Ahli
Pasal 1 (5)
Penilai Ahli
adalah seseorang yang mempunyai kompetensi penilaian ahli di bidang jasa
konstruksi.
Pasal 4 :
(1) Penilai Ahli berperan dalam kegiatan penilaian ahli atas kejadian
Kegagalan Bangunan,Kegagalan Pekerjaan Konstruksi, beda pendapat antar para
pihak dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi, penyelesaian sengketa
konstruksi dan proses peradilan.
(2) Penilaian ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
1 (satu) atau lebih Penilai Ahli.
Pasal 5 : Tugas Penilai Ahli
(1) Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Bangunan adalah
a.
memberikan penilaian dan
penetapan:
b.
sebab-sebab terjadinya
Kegagalan Bangunan;
c.
bagian-bagian yang tidak
lagi berfungsi akibat Kegagalan Bangunan;
d.
pihak yang bertanggung
jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi, serta tingkat dan sifat kesalahan
yang dilakukan;
e.
besarnya kerugian, serta
usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang
melakukan kesalahan; dan
f.
jangka waktu pembayaran
kerugian.
(2) Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi
adalah memberikan penilaian dan rekomendasi:
a.
sebab-sebab terjadinya
Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
b.
bagian-bagian yang tidak
lagi berfungsi akibat Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
c.
pihak yang bertanggung
jawab atas Kegagalan Pekerjaan Konstruksi yang terjadi, serta tingkat dan sifat
kesalahan yang dilakukan; dan
d.
besarnya kerugian, serta
usulan cara perbaikan kegagalan pekerjaan konstruksi
(3) Tugas
Penilai Ahli dalam hal kejadian beda pendapat antar para pihak, adalah:
a.
memberikan interpretasi
kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi;
b.
memberikan pendapat
dan/atau telaahan atas permasalahan beda pendapat untuk tercapainya
kesepakatan;
c.
memberikan usulan
penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan/atau
d.
merumuskan hasil
kesepakatan para pihak.
(4) Tugas Penilai
Ahli dalam hal kejadian penyelesaian sengketa konstruksi adalah sebagai
Mediator atau Konsiliator.
(5) Tugas
Penilai Ahli sebagai Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.
memfasilitasi para pihak
dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.
menengahi setiap perbedaan
pendapat dalam berargumentasi;
c.
memberikan interpretasi
kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi; dan
d. memberikan pendapat
dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk tercapainya
kesepakatan;
(6) Tugas
Penilai Ahli sebagai Konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.
memfasilitasi para pihak
dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.
menengahi setiap perbedaan
pendapat dalam berargumentasi;
c.
memberikan interpretasi
kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi;
d. memberikan pendapat
dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk tercapainya
kesepakatan;
e.
memberikan usulan
penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan
f.
merumuskan hasil
kesepakatan para pihak.
(7) Tugas Penilai Ahli dalam proses arbitrase dan proses peradilan adalah
memberikan keterangan ahli selaku saksi ahli.
3.7. Menurut
Peraturan lainnya (seperti FIDIC dll)
FIDIC
(FIDIC, Federation International des Ingenieurs-Conseils atau
International Federation of Consulting Engineers. yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh
negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC
merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan
(Consulting engineers) seluruh dunia. Didukung oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman professional yang sedemikian
luas dari anggota-anggotanya, FIDIC telah menerbitkan berbagai bentuk standar
dari dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract, untuk
proyek-proyek pekerjaan sipil (civil engineering construction) sejak 1957 yang
secara terus menerus direvisi dan diperbaiki sesuai perkembangan industri
konstruksi
Berdasarkan
Persyaratan Kontrak untuk Pelaksanaan Konstruksi, Multilateral Development Bank
(MDB) Harmonised Edition Maret-2006, pada Klausul No.20 : KLAIM, SENGKETA DAN
ARBITRASE diatur bahwa bilamana terjadi sengketa konstruksi maka
penyelesaiannya melibatkan Sebuah Dewan Sengketa yang anggotanya (berjumlah
ganjil) ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
Dewan
Sengketa dalam menyelesaikan sebuah sengketa akan mengupayakan cara-cara damai atau musyawarah. Namun
bila cara damai/musyawarah tidak tercapai, maka dapat ditempuh penyelesaian
melalui forum Arbitrase. Dapat
dipilih arbitrase nasional atau arbitrase internasional.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa konstruksi di
bidang investasi infrastruktur yang terjadi antara para pihak yang melakukan
kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dapat diselesaikan melalui dua pilihan
jalur penyelesaian yaitu melalui jalur pengadilan atau jalur non pengadilan.
Untuk penyelesaian melalui jalur pengadilan diselenggarakan dengan mengikuti
tata cara peradilan pada umumnya, sedangkan penyelesaian melalui jalur non
pengadilan mencakup penyelesaian melalui cara musyawarah, konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitraseatau melibatkan penilaian ahli. Dalam
halmenggunakan cara melalui arbitrase dapat dipilih lembaga arbitrase nasional
atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
Contoh
Kasus :
Dalam rangka proyek pembangunan jembatan layang, ada
beberapa keluarga/warga yang sebagian tanah dan bangunannya akan kena
penggusuran. Kami masih dalam tahap perundingan dengan panitia pengadaan tanah,
tetapi harga/nominal yang ditawarkan untuk ganti rugi sangat rendah dan
dirasakan sangat tidak adil, dengan alasan sudah dianggarkan dengan
harga/nominal tersebut.
1. Apabila tidak
terjadi kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi, apakah kami tetap akan digusur paksa karena proyek
tersebut dikategorikan atas nama untuk kepentingan umum?
2. Kira-kira apa
dasar hukum dan undang-undang yang bisa dipakai agar mendapat hak yang layak
dan adil dalam ganti rugi tersebut? Karena sebagian besar dari warga tersebut
tidak mengerti mengenai hukum dan tidak didampingi oleh penasihat hukum.
Jawaban :
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang
terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai. Nilai
ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar
musyawarah penetapan ganti kerugian antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang
berhak atas ganti rugi. Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar
pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak.
Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu
paling lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.
Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan
negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 hari
kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang
mengajukan keberatan.
Anda tidak dapat digusur dengan paksa karena berdasarkan Pasal
5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat
pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti
kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Jadi, selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian
dan belum ada pemberian ganti kerugian, Anda tidak wajib melepaskan tanah Anda.
Pemberian
Ganti Rugi Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan layang yang
merupakan jalan umum, memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan
Umum (“UU 2/2012”):
Pasal 10
UU 2/2012:
“Tanah untuk Kepentingan Umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a. …;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun
kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
…”
Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.[1][1]
Penilaian
besarnya nilai ganti kerugian
atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai.[2][2]
Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan.[3][3]
Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan
nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.[4][4] Besarnya
nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian oleh Penilai disampaikan
kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan berita acara penyerahan hasil
penilaian.[5][5] Penetapan besarnya nilai ganti kerugian
dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik
tersebut.[6][6]
Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai
tersebut menjadi dasar musyawarah
penetapan ganti kerugian.[7][7] Musyawarah untuk menetapkan bentuk
dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian
tersebut dilakukan antara Lembaga
Pertanahan dengan pihak yang berhak[8][8]
atas ganti rugi dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada
Lembaga Pertanahan.[9][9] Pelaksanaan
musyawarah ini dilaksanakan dengan mengikutsertakan Instansi yang memerlukan
tanah.[10][10]
Hasil
kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak.
Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam
berita acara kesepakatan.[11][11]
Keberatan
atas Besarnya Ganti Kerugian
Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu
paling lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.[12][12] Pengadilan
negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama
30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.[13][13]
Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan
negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 hari
kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.[14][14]
Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30
hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.[15][15]
Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada
pihak yang mengajukan keberatan.[16][16]
Jika pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya
ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah
ditetapkan, maka karena hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan
besarnya ganti kerugian hasil musyawarah.[17][17]
Melihat dari ketentuan-ketentuan di atas, jika Anda dan para
pemilik tanah lainnya tidak setuju dengan besarnya ganti kerugian berdasarkan
hasil perundingan, maka Anda dapat mengajukan keberatan pada pengadilan negeri
setempat.
Anda tidak dapat digusur dengan paksa karena berdasarkan Pasal
5 UU 2/2012, pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jadi, selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian
dan belum ada pemberian ganti kerugian, Anda tidak wajib melepaskan tanah Anda.
Sumber :
[4][4] Pasal 34 ayat (1) UU 2/2012 dan Pasal 66 ayat (1) Peraturan
Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum
(“Perpres 71/2012”)
[8][8] Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau
memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU 2/2012)