Saturday, 6 January 2018

PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI


ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI 


1.           PENDAHULUAN
Pesatnya pembangunan di segala bidang di Indonesia termasuk di dalamnya pembangunan di bidang infrastruktur dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong peningkatan arus investasi baik yang berasal dari pihak swasta dalam negeri maupun dari luar negeri. Investasi dalam bidang infrastruktur telah melibatkan banyak pihak dengan beragam skema kerjasama, seperti: antara pemerintah RI dengan Pemerintah negara lain atau dengan Swasta Nasional atau Swasta Asing; antara sesama swasta nasional atau dengan pihak asing.
Kerja sama investasi antara para pihak dalam bidang infrastruktur tersebut diikat melalui beragam bentuk kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama. Tentu saja setiap kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dimaksud diharapkan dapat berjalan dengan lancar dan tanpa adanya hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Para pihak yang terikat perjanjian berupaya melaksanakan sebaik mungkin klausul-klausul yang disepakati dalam kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dimaksud.
Namun dalam pelaksanaan kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama seringkali ditemukan banyak kendala/hambatan yang pada akhirnya dapat menimbulkan perselisihan atau ketidaksepahaman antara para pihak yang telah melakukan kesepakatan tersebut yang ujung-ujungnya menjadi sebuah sengketa (dispute).
Pengertian Infrastruktur (Grigg, 1988) adalah suatu sistem fisik yang menyediakan transportasi, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun ekonomi. Adapun enam kategori besar infrastruktur (Grigg, 1988), meliputi :
1.        Kelompok jalan (jalan, jalan raya, jembatan);
2.        Kelompok pelayanan transportasi (transit, jalan rel, pelabuhan, bandar udara);
3.        Kelompok air (air bersih, air kotor, semua sistem air, termasuk jalan air);
4.        Kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat);
5.        Kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar;
6.        Kelompok produksi dan distribusi energi (listrik dan gas);

2.           LANDASAN HUKUM
Adapun beberapa landasan hukum yang dapat menjadi dasar atau rujukan dalam penyelesaian sengketa konstruksi di bidang investasi infrastruktur di Indonesia, meliputi :
1.     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta Penjelasannya;
2.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
3.    Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010;
4.     Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 200 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
5.    Peraturan Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 Tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi;
6.      Peraturan Lembaga LPJK Nomor 04 tahun 2014 tentang Penilai Ahli;
7.      Lain-lain (seperti  FIDIC dll)

 
3.           PEMILIHAN CARA PENYELESAIAN SENGKETA KONSTRUKSI

3.1         Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi beserta Penjelasannya

Bab IV : Pengikatan Pekerjaan Konstruksi
Bagian Ketiga: Kontrak Kerja Konstruksi

Pasal 22 ayat (2) h:
Kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai penyelesaian perselisihan, yang memuat tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan.

-        Penjelasan Pasal 22 (2) h:
Penyelesaian perselisihan memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan yang diakibatkan oleh ketidaksepakatan dalam hal pengertian, penafsiran, atau pelaksanaan berbagai ketentuan dalam kontrak kerja konstruksi serta ketentuan tentang tempat dan cara penyelesaian.

Penyelesaian perselisihan ditempuh melalui antara lain musyawarah, mediasi, arbitrase, ataupun pengadilan.

Pasal 33 ayat (2):
Tugas lembaga yang menyelenggarakan peran masyarakat jasa konstruksi dalam melaksanakan pengembangan jasa konstruksi adalah:

(e) mendorong dan meningkatkan peran arbitrase, mediasi dan penilai ahli dibidang jasa konstruksi.
Pasal 25 ayat (3):

Kegagalan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh pihak ketiga selaku penilai ahli.

-        Penjelasan Pasal 25 (3):
Penetapan kegagalan hasil pekerjaan konstruksi oleh pihak ketiga sebagai penilai ahli dimaksudkan untuk menjaga objektivitas dalam penilaian dan penetapan suatu kegagalan hasil pekerjaan konstruksi.

Penilai ahli terdiri dari orang perseorangan, atau kelompok orang, atau lembaga yang disepakati para pihak, yang bersifat independen dan mampu memberikan penilaian secara objektif dan profesional.

Pasal 36 :

(1)    Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luarpengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.

(2)    Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlakuterhadap tindak pidana dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sebagaimana diatur dalamKitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(3)   Jika dipilih upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau parapihak yang bersengketa.

Pasal 37 :

(1)     Penyelesaian sengketa jasa konstruksi di luar pengadilan dapat ditempuh untuk masalah-masalah yang timbul dalam kegiatan pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, serta dalam hal terjadi kegagalan bangunan.
(2)     Penyelesaian sengketa jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan jasa pihak ketiga, yang disepakati oleh para pihak.
(3)     Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk oleh Pemerintah dan/atau masyarakat jasa konstruksi.

3.2.     Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pasal 1 ayat (1)
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.

Pasal 1 ayat (10)
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Pasal 34 ayat (1) :
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atauinternasional berdasarkan kesepakatan para pihak.

3.3.  Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3956) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010


BAB VI : PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 49

(1)  Penyelesaian sengketa dalam penyelenggaraan jasa konstruksi di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara :
a. melalui pihak ketiga yaitu :
1.         mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh Lembaga Arbitrase dan Lembaga AlternatifPenyelesaian Sengketa);
2.         konsiliasi; atau
b. arbitrase melalui Lembaga Arbitrase atau Arbitrase AdHoc.
(2)   Penyelesaian sengketa secara mediasi atau konsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf dapat dibantu penilai ahli untuk memberikan pertimbangan profesional aspek tertentu sesuaikebutuhan.

3.4. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke-4 Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

Paragraf Ketujuh : Penyelesaian Perselisihan
Pasal 94
(2)  Dalam hal terjadi perselisihan antara para pihak dalam Penyediaan Barang/Jasa Pemerintah, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan perselisihan tersebut melalui musyawarah untuk mufakat.
(3)  Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase, alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



3.5.     Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 07/PRT/M/2011 Tentang Standar Dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Dan Jasa Konsultansi, terakhir diubah dengan Peraturan Menteri PU Nomor 07/PRT/M/2014 (Perubahan Kedua).

1.    Penyelesaian Perselisihan

3.6.     Menurut Peraturan Lembaga LPJK Nomor 04 tahun 2014 tentang Penilai Ahli

Pasal 1 (5)
Penilai Ahli adalah seseorang yang mempunyai kompetensi penilaian ahli di bidang jasa konstruksi.

Pasal 4 :
(1)  Penilai Ahli berperan dalam kegiatan penilaian ahli atas kejadian Kegagalan Bangunan,Kegagalan Pekerjaan Konstruksi, beda pendapat antar para pihak dalam pelaksanaan  Kontrak Kerja Konstruksi, penyelesaian sengketa konstruksi dan proses peradilan.
(2)  Penilaian ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih Penilai Ahli.

Pasal 5 : Tugas Penilai Ahli
(1)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Bangunan adalah
a.         memberikan penilaian dan penetapan:
b.         sebab-sebab terjadinya Kegagalan Bangunan;
c.         bagian-bagian yang tidak lagi berfungsi akibat Kegagalan Bangunan;
d.        pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi, serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan;
e.         besarnya kerugian, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak atau pihak-pihak yang melakukan kesalahan; dan
f.          jangka waktu pembayaran kerugian.
(2)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian Kegagalan Pekerjaan Konstruksi adalah memberikan penilaian dan rekomendasi:
a.      sebab-sebab terjadinya Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
b.      bagian-bagian yang tidak lagi berfungsi akibat Kegagalan Pekerjaan Konstruksi;
c.      pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Pekerjaan Konstruksi yang terjadi, serta tingkat dan sifat kesalahan yang dilakukan; dan
d.      besarnya kerugian, serta usulan cara perbaikan kegagalan pekerjaan konstruksi
(3)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian beda pendapat antar para pihak, adalah:
a.      memberikan interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi;
b.      memberikan pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan beda pendapat untuk tercapainya kesepakatan;
c.      memberikan usulan penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan/atau
d.      merumuskan hasil kesepakatan para pihak.
(4)  Tugas Penilai Ahli dalam hal kejadian penyelesaian sengketa konstruksi adalah sebagai Mediator atau Konsiliator.
(5)  Tugas Penilai Ahli sebagai Mediator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.      memfasilitasi para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.      menengahi setiap perbedaan pendapat dalam berargumentasi;
c.      memberikan interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi; dan
d.    memberikan pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk tercapainya kesepakatan;
(6)  Tugas Penilai Ahli sebagai Konsiliator sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a.      memfasilitasi para pihak dalam rangka penyelesaian sengketa;
b.      menengahi setiap perbedaan pendapat dalam berargumentasi;
c.      memberikan interpretasi kontraktual secara berkeahlian atas dokumen Kontrak Kerja Konstruksi;
d.    memberikan pendapat dan/atau telaahan atas permasalahan penyelesaian sengketa untuk tercapainya kesepakatan;
e.      memberikan usulan penyelesaian untuk tercapainya kesepakatan; dan
f.       merumuskan hasil kesepakatan para pihak.

(7)  Tugas Penilai Ahli dalam proses arbitrase dan proses peradilan adalah memberikan keterangan ahli selaku saksi ahli.

3.7.     Menurut Peraturan lainnya (seperti FIDIC dll)

FIDIC
(FIDIC, Federation International des Ingenieurs-Conseils atau International Federation of Consulting Engineers. yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan (Consulting engineers) seluruh dunia. Didukung oleh ilmu pengetahuan dan pengalaman professional yang sedemikian luas dari anggota-anggotanya, FIDIC telah menerbitkan berbagai bentuk standar dari dokumen dan persyaratan kontrak, conditions of contract, untuk proyek-proyek pekerjaan sipil (civil engineering construction) sejak 1957 yang secara terus menerus direvisi dan diperbaiki sesuai perkembangan industri konstruksi
Berdasarkan Persyaratan Kontrak untuk Pelaksanaan Konstruksi, Multilateral Development Bank (MDB) Harmonised Edition Maret-2006, pada Klausul No.20 : KLAIM, SENGKETA DAN ARBITRASE diatur bahwa bilamana terjadi sengketa konstruksi maka penyelesaiannya melibatkan Sebuah Dewan Sengketa yang anggotanya (berjumlah ganjil) ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.
Dewan Sengketa dalam menyelesaikan sebuah sengketa akan mengupayakan cara-cara damai atau musyawarah. Namun bila cara damai/musyawarah tidak tercapai, maka dapat ditempuh penyelesaian melalui forum Arbitrase. Dapat dipilih arbitrase nasional atau arbitrase internasional.

IV.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian sengketa konstruksi di bidang investasi infrastruktur yang terjadi antara para pihak yang melakukan kesepakatan/perjanjian/kontrak kerjasama dapat diselesaikan melalui dua pilihan jalur penyelesaian yaitu melalui jalur pengadilan atau jalur non pengadilan. Untuk penyelesaian melalui jalur pengadilan diselenggarakan dengan mengikuti tata cara peradilan pada umumnya, sedangkan penyelesaian melalui jalur non pengadilan mencakup penyelesaian melalui cara musyawarah, konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitraseatau melibatkan penilaian ahli. Dalam halmenggunakan cara melalui arbitrase dapat dipilih lembaga arbitrase nasional atau internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.

Contoh Kasus :
Dalam rangka proyek pembangunan jembatan layang, ada beberapa keluarga/warga yang sebagian tanah dan bangunannya akan kena penggusuran. Kami masih dalam tahap perundingan dengan panitia pengadaan tanah, tetapi harga/nominal yang ditawarkan untuk ganti rugi sangat rendah dan dirasakan sangat tidak adil, dengan alasan sudah dianggarkan dengan harga/nominal tersebut.
1.    Apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai besarnya ganti rugi, apakah kami  tetap akan digusur paksa karena proyek tersebut dikategorikan atas nama untuk kepentingan umum?
2.    Kira-kira apa dasar hukum dan undang-undang yang bisa dipakai agar mendapat hak yang layak dan adil dalam ganti rugi tersebut? Karena sebagian besar dari warga tersebut tidak mengerti mengenai hukum dan tidak didampingi oleh penasihat hukum.

Jawaban :
Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai. Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang berhak atas ganti rugi. Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak.

Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.

Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 hari kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.

Anda tidak dapat digusur dengan paksa karena berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jadi, selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian dan belum ada pemberian ganti kerugian, Anda tidak wajib melepaskan tanah Anda.

Pemberian Ganti Rugi Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Pengadaan tanah untuk pembangunan jalan layang yang merupakan jalan umum, memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“UU 2/2012”):

Pasal 10 UU 2/2012:
“Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
a.   …;
b.   jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
…”

Pada dasarnya pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil.[1][1]

Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum ditetapkan oleh Penilai.[2][2] Penilai ini ditetapkan oleh Lembaga Pertanahan.[3][3]

Nilai ganti kerugian yang dinilai oleh Penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum.[4][4] Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian oleh Penilai disampaikan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dengan berita acara penyerahan hasil penilaian.[5][5] Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik tersebut.[6][6]

Nilai ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian.[7][7] Musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian tersebut dilakukan antara Lembaga Pertanahan dengan pihak yang berhak[8][8] atas ganti rugi dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan.[9][9] Pelaksanaan musyawarah ini dilaksanakan dengan mengikutsertakan Instansi yang memerlukan tanah.[10][10]

Hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Hasil kesepakatan tersebut dimuat dalam berita acara kesepakatan.[11][11]

Keberatan atas Besarnya Ganti Kerugian

Jika tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, pihak yang berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat dalam waktu paling lama 14 hari setelah musyawarah penetapan ganti kerugian.[12][12] Pengadilan negeri memutus bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak diterimanya pengajuan keberatan.[13][13]

Jika ada pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan negeri, maka pihak yang keberatan tersebut, dalam waktu paling lama 14 hari kerja, dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.[14][14] Selanjutnya, Mahkamah Agung wajib memberikan putusan dalam waktu paling lama 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.[15][15]

Putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi dasar pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengajukan keberatan.[16][16]

Jika pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian, tetapi tidak mengajukan keberatan dalam waktu yang telah ditetapkan, maka karena hukum pihak yang berhak dianggap menerima bentuk dan besarnya ganti kerugian hasil musyawarah.[17][17]

Melihat dari ketentuan-ketentuan di atas, jika Anda dan para pemilik tanah lainnya tidak setuju dengan besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil perundingan, maka Anda dapat mengajukan keberatan pada pengadilan negeri setempat.

Anda tidak dapat digusur dengan paksa karena berdasarkan Pasal 5 UU 2/2012, pemilik tanah wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Jadi, selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian dan belum ada pemberian ganti kerugian, Anda tidak wajib melepaskan tanah Anda.


Sumber :



[1][1] Pasal 9 ayat (2) UU 2/2012
[2][2] Pasal 33 jo. Pasal 32 UU 2/2012
[3][3] Pasal 31 ayat (1) UU 2/2012
[5][5] Pasal 66 ayat (3) Perpres 71/2012
[7][7] Pasal 34 ayat (3) UU 2/2012
[8][8] Pihak yang berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3 UU 2/2012)
[9][9] Pasal 37 ayat (1) UU 2/2012 dan Pasal 68 ayat (1) Perpres 71/2012
[10][10] Pasal 68 ayat (2) Perpres 71/2012
[11][11] Pasal 37 ayat (2) UU 2/2012 dan Pasal 72 ayat (1) Perpres 71/2012
[12][12] Pasal 38 ayat (1) UU 2/2012 dan Pasal 73 ayat (1) Perpres 71/2012
[13][13] Pasal 38 ayat (2) UU 2/2012 dan Pasal 73 ayat (2) Perpres 71/2012
[14][14] Pasal 38 ayat (3) UU 2/2012 dan Pasal 73 ayat (3) Perpres 71/2012
[15][15] Pasal 38 ayat (4) UU 2/2012 dan Pasal 73 ayat (4) Perpres 71/2012
[16][16] Pasal 38 ayat (5) UU 2/2012
[17][17] Pasal 39 UU 2/2012