TINJAUAN-TINJAUAN TENTANG UNDANG-UNDANG UUJK NO. 18 TAHUN 1999
Salah satu aspek penyelenggaraan
jasa konstruksi yang berkaitan dengan pekerjaan atau proyek konstruksi adalah
kegiatan pengadaan jasa pemborongan konstruksi. Kegiatan pengadaan jasa
pemborongan konstruksi diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk
menyediakan layanan jasa pemborongan konstruksi yang berkompeten dalam
mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Pengaturan kegiatan
pengadaan jasa pemborongan konstruksi dilakukan agar terdapat kesesuaian antara
kompetensi yang dimiliki oleh penyedia jasa pemborongan konstruksi dengan jenis
pekerjaan konstruksi.
Secara hukum yuridis, bentuk dari
suatu pengaturan dilakukan dengan penetapan berbagai peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan jasa konstruksi yang berlaku
di Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Jasa Konstruksi No. 18 tahun 1999
(UUJK No.18/1999). Berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan berbagai peraturan
pelaksana yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan
Presiden (Keppres), Keputusan Menteri (Kepmen), dan sebagainya.
Penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan jasa pemborongan konstruksi
sebagai akibat dari pemahaman/persepsi yang keliru terhadap ketentuan yang
berlaku dapat berpotensi terjadi dampak dalam penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi. Oleh karena itu, perlu untuk diketahui ketentuan-ketentuan dalam
pengadaan jasa pemborongan konstruksi yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk jasa konstruksi.
UUJK No. 18/1999 merupakan landasan
hukum pengaturan jasa konstruksi yang terencana, terarah, dan menyeluruh dalam
rangka mengembangkan jasa konstruksi. Dengan Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi ini, maka semua penyelenggaraan jasa konstruksi yang dilakukan di Indonesia
oleh pengguna jasa dan penyedia jasa, baik nasional maupun asing, wajib
mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang tentang Jasa
Konstruksi (Butir 9 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Sesuai dengan hirarki peraturan
perundang-undangan mengenai kedudukan Undang-undang, ketentuan dalam UUJK No.
18/1999 bersifat umum dan perlu diturunkan dalam bentuk peraturan pelaksanaan
untuk penerapannya dengan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Untuk lebih memahami mengenai UUJK
No. 18/1999, berikut kajian latar belakang dan struktur isi UUJK No. 18/1999.
Sehubungan dengan lingkup penelitian ini, pembahasannya dilakukan dari sudut
pandang pengaturan Pengadaan Jasa Pemborongan Konstruksi.
Latar Belakang Lahirnya UUJK
No. 18 tahun 1999
Pengaturan jasa konstruksi dalam
UUJK No. 18/1999 dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan cita-cita luhur
jasa konstruksi dimana dengan adanya UUJK No. 18/1999, jasa konstruksi
diharapkan dapat :
a. Berperan dalam pembangunan nasional
Disarikan
dari ayat 1 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999: ”
b. Terwujud kesetaraan kedudukan antara
pengguna jasa dan penyedia jasa (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum
UUJK No. 18/1999),
c. Terbentuk usaha yang profesional dan
kokoh (disarikan dari ayat 2 Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999), dan
d. Menghasilkan hasil pekerjaan
konstruksi yang berkualitas dan berfungsi sesuai rencana (disarikan dari ayat 2
Penjelasan Bab I Umum UUJK No. 18/1999).
Peran jasa konstruksi dalam
pembangunan nasional yaitu melalui kegiatan pembangunan. Yang mana hasil akhir
dari pembangunan adalah bangunan fisik berupa sarana dan prasarana. Peran jasa
konstruksi secara langsung dalam pembangunan nasional yaitu:
a. Mengurangi pengangguran dengan membuka
lapangan kerja bagi tenaga kerja konstruksi yaitu tenaga ahli dan tenaga
terampil.
b. Membuka peluang usaha bagi perusahaan
yang bergerak di bidang industri barang dan jasa yang berkaitan dengan
pekerjaan konstruksi.
c. Meningkatkan pendapatan negara melalui
sektor konstruksi.
Peran jasa konstruksi secara tidak
langsung adalah mendukung pertumbuhan dan perkembangan bidang ekonomi, sosial
dan budaya melalui hasil pembangunan atau pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Pentingnya peran jasa konstruksi dalam pertumbuhan ekonomi negara sehingga
dibutuhkan pengaturan dalam bentuk Undang-Undang Jasa Konstruksi untuk mengatur
dan memberdayakan jasa konstruksi nasional.
Hal inilah yang menyebabkan
pemerintah berinisiatif menyusun konsep awal Undang-Undang Jasa Konstruksi pada
tahun 1988 dan selanjutnya bersama asosiasi jasa konstruksi meneruskan konsep
awal Rancangan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UUJK) hingga ditetapkannya UUJK
pada tanggal 22 Maret 1999.
Perizinan
Bagi Penyedia Jasa Konstruksi
Penyedia
jasa konstruksi yang berbentuk badan usaha harus (i) memenuhi ketentuan
perizinan usaha di bidang jasa konstruksi dan (ii) memiliki sertifikat,
klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi. Standar klasifikasi
dan kualifikasi keahlian kerja adalah pengakuan tingkat keahlian kerja setiap
badan usaha baik nasional maupun asing yang bekerja di bidang usaha jasa
konstruksi. Pengakuan tersebut diperoleh melalui ujian yang dilakukan oleh
badan/lembaga yang bertugas untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut. Proses
untuk mendapatkan pengakuan tersebut dilakukan melalui kegiatan registrasi,
yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertifikasi. Dengan demikian, hanya
badan usaha yang memiliki sertifikat tersebut yang diizinkan untuk bekerja di
bidang usaha jasa konstruksi.
Berkenaan
dengan izin usaha jasa konstruksi, telah diatur lebih lanjut dalam Pasal 14
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat
Jasa Konstruksi (PP 28/2000) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010
tentang Perubahan atas PP 28/2000 (PP 4/2010) dan Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman
Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional.
Pengikatan
Suatu Pekerjaan Konstruksi
Pengikatan
dalam hubungan kerja jasa konstruksi dilakukan berdasarkan prinsip persaingan yang
sehat melalui pemilihan penyedia jasa dengan cara pelelangan umum atau
terbatas, dan dalam keadaan tertentu, penetapan penyedia jasa dapat dilakukan
dengan cara pemilihan langsung atau penunjukkan langsung. Pemilihan penyedia
jasa harus mempertimbangkan kesesuaian bidang, keseimbangan antara kemampuan
dan beban kerja, serta kinerja penyedia jasa. Badan-badan usaha yang dimilki
oleh satu atau kelompok orang yang sama atau berada pada kepengurusan yang sama
tidak boleh mengikuti pelelangan untuk satu pekerjaan konstruksi secara
bersamaan. Berkenaan dengan tata cara pemilihan penyedia jasa ini, telah diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP 29/2000) jo. Peraturan Pemerintah
Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP 29/2000.
Kontrak
Kerja Konstruksi
Pengaturan
hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus
dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi
dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan
pihak asing, maka dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Suatu
kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai (i)
para pihak; (ii) rumusan pekerjaan; (iii) masa pertanggungan dan/atau
pemeliharaan; (iv) tenaga ahli; (v) hak dan kewajiban para pihak; (vi) tata
cara pembayaran; (vii) cidera janji; (viii) penyelesaian perselisihan; (ix)
pemutusan kontrak kerja konstruksi; (x) keadaan memaksa (force majeure);
(xi) kegagalan bangunan; (xii) perlindungan pekerja; (xiii) aspek lingkungan.
Sehubungan dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus
memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
Uraian
mengenai rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan
waktu pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi (a) volume pekerjaan,
yakni besaran pekerjaan yang harus dilaksanakan; (b) persyaratan administrasi,
yakni prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi;
(c) persyaratan teknik, yakni ketentuan keteknikan yang wajib dipenuhi oleh
penyedia jasa; (d) pertanggungan atau jaminan yang merupakan bentuk
perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan, penerimaan uang muka,
kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat; (e) laporan hasil pekerjaan
konstruksi, yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen
tertulis. Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang
akan diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup
pekerjaan. Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan
keseluruhan lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
Peran
Masyarakat dan Masyarakat Jasa Konstruksi
Masyarakat
juga memiliki peran dalam suatu penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi,
diantaranya untuk (i) melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan
jasa konstruksi; (ii) memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang
dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan konstruksi; (iii) menjaga
ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang pelaksanaan jasa
konstruksi; (iv) turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang
membahayakan kepentingan umum.
Masyarakat
jasa konstruksi merupakan bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan
dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan usaha dan pekerjaan jasa konstruksi.
Masyarakat jasa konstruksi ini diselenggarakan melalui suatu forum jasa
konstruksi yang dilakukan oleh suatu lembaga yang independen dan mandiri. Forum
ini bersifat mandiri dan memiliki serta menjunjung tinggi kode etik profesi.
Peran masyarakat jasa konstruksi ini diatur lebih lanjut dalam PP 4/2010.
Peran
Pemerintah
Pemerintah
juga memiliki peran dalam penyelenggaraan suatu jasa konstruksi, yaitu
melakukan pembinaan jasa konstruksi dalam bentuk pengaturan, pemberdayaan, dan
pengawasan. Pengaturan yang dimaksud dilakukan dengan menerbitkan peraturan
perundang-undangan dan standar-standar teknis. Sedangkan pemberdayaan dilakukan
terhadap usaha jasa konstruksi dan masyarakat untuk menumbuhkembangkan
kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam pelaksanaan jasa konstruksi.
Selanjutnya, mengenai pengawasan, dilakukan terhadap penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi untuk menjamin terwujudnya ketertiban jasa konstruksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembinaan ini dapat dilakukan
bersama-sama dengan masyarakat jasa konstruksi. Pembinaan jasa konstruksi ini
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi.
Gugatan
Masyarakat
Dalam
suatu penyelenggaraan usaha jasa konstruksi, terdapat kemungkinan bahwa
masyarakat mengalami kerugian sebagai akibat dari penyelenggaraan pekerjaan
konstruksi tersebut. Karena itulah, masyarakat memiliki hak mengajukan gugatan
perwakilan. Yang dimaksud dengan hak mengajukan gugatan perwakilan adalah hak
kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah
besar yang dirugikan atas dasar kesamaan permasalahan, faktor hukum dan
ketentuan yang ditimbulkan karena kerugian atau gangguan sebagai akibat dari
kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Sanksi
Sanksi
administratif yang dapat dikenakan atas pelanggaran UU Jasa Konstruksi adalah
berupa (i) peringatan tertulis; (ii) penghentian sementara pekerjaan
konstruksi; (iii) pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi; (iv) larangan
sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi (khusus bagi pengguna jasa);
(v) pembekuan izin usaha dan/atau profesi; dan (vi) pencabutan izin usaha
dan/atau profesi. Selain sanksi administratif tersebut, penyelenggara pekerjaan
konstruksi dapat dikenakan denda paling banyak sebesar 10% (sepuluh per
seratus) dari nilai kontrak atau pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Helen Taurusia, S.H
https://llkpbjaceh.wordpress.com/2010/10/16/kajian-keserasian-undang-undang-jasa-konstruksi-no-18-tahun-1999-dan-keputusan-presiden-no-80-tahun-2003-dalam-pengadaan-jasa-pemborongan-konstruksi-oleh-pemerintah/https://www.hukumproperti.com/rangkuman-peraturan/aspek-hukum-jasa-konstruksi-berdasarkan-undang-undang-nomor-18-tahun-1999-tentang-jasa-konstruksi/
No comments:
Post a Comment